Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sebagai sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi.
Kita sering berkomunikasi terlebih kita selalu
berinteraksi dengan suatu bahasa baik itu secara tatap muka ataupun dengan
suatu alat penghubung. Dengan bahasa kita mampu mengerti apa maksud dan tujuan
antara komunikan dan komunikator. Bahasa sangatlah penting untuk interaksi kita
di dunia ini baik untuk tujuan bisnis, pendidikan, etnis, sejarah juga untuk
kepentigan bangsa dan negara.
Bahasa juga identik dengan ciri khas suatu bangsa negara
itu sendiri, menjadi suatu pembeda juga pemersatu untuk bangsa. Karna itu kita
patutlah bangga dengan bahasa kita, karna dengan adanya bahasa di negara kita
yaitu bahasa Indonesia, bangsa kita mempunyai ciri khas, pemersatu antar daerah
natau suku juga pembeda dengan negara lain.
A. PENGERTIAN JURNALISTIK
Ragam bahasa yang kita kenal dalam bahasa Indonesia ada
dua, yakni ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. Salah satu bagian dari
ragam bahasa tulis adalah jurnalistik.
Jurnalistik merupakan bagian dari media massa
yang berhubungan dengan masyarakat luas. Maka dari itu untuk menyampaikan pesan
kepada masyarakat luas haruslah menggunakan bahasa dengan kadar kemampuan
minimal. Masyarakat pembaca media terdiri dari kalangan atas sampai bawah,
sehingga bahasa yang digunakan juga harus disesuaikan kemampuan dengan pembaca.
Itulah sebabnya bahasa yang digunakan harus memasyarakat sesuai dengan bahasa
yang digunakan sehari-hari.
Bahasa yang digunakan dalam jurnalistik adalah bahasa
yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari sehingga semua orang yang melek aksara
dapat dengan mudah mencerna isi atau pesan yang disampaikan. Meskipun bahasa
yang digunakan adalah bahasa sehari-hari, namun tidak boleh asal dalam menulis
bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik juga harus sesuai dengan norma tata
penulisan yakni kaidah yang berlaku, dalam hal ini harus sesuai dengan EYD.
Selain itu, kalimat yang digunakan juga harus mempertimbangkan unsur kohesi dan
koherensi sehingga tidak menimbulkan kerancuan agar mudah dimengerti oleh
khalayak.
Bahasa jurnalistik mengalami perkembangan yang pesat.
Perkembangan ini seiring dengan perkembangan masyarakat, sehingga seringkali
muncullah istilah baru untuk menggambarkan kondisi masyarakat. Dapat
disimpulkan bahwa bahasa jurnalistik selalu mengalami perkembangan setiap
harinya sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat.
Masa edar yang terbatas dari media massa membuat materi
berita cepat basi. Periode suatu berita ada yang harian, mingguan, dan bulanan.
Bisa saja berita yang dibaca hari ini sudah tidak aktual lagi untuk dibaca esok
harinya. Atau bisa saja suatu berita mempunyai kesinambungan cerita bahkan
selalu menarik untuk diikuti setiap harinya sampai berita itu dirasa sudah
membosankan, contohnya berita tentang Denni Indrayana, ”Wamen Menampar Penjaga
Lapas”.
Hal ini tentu berbeda dengan buku atau bacaan lainnya
yang membutuhkan waktu lama untuk membaca. Sifat dan isi buku juga tidak
terbatas oleh waktu sehingga sebuah buku bisa dibaca kapan saja dan tetap
menarik untuk dibaca tanpa dibatasi oleh waktu. Sebaliknya, bagi para pembaca
media massa dalam membaca sebuah berita mereka tidak membutuhkan waktu lama,
bahkan ada juga yang membacanya sambil lalu. Hal ini dikarenakan sifat berita
yang cepat basi dan pembaca hanya membutuhkan informasi yang up to date saja.
Itulah perbedaan antara media massa dan buku.
B. PENGERTIAN BAHASA JURNALISTIK
BahasaJurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan
wartawan dalam menulis berita. Disebut juga Bahasa Komunikasi Massa (Language
of Mass Communication, disebut pulaNewspaper Language), yakni bahasa yang
digunakan dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur)
di media elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi tertulis (media cetak dan
online), dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.
C. CIRI-CIRI BAHASA JURNALISTIK
Bahasa Jurnalistik memiliki dua ciri utama : komunikatif
dan spesifik. Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau langsung ke pokok
persoalan (straight to the point), bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak
berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tanpa basa-basi. Spesifik artinya
mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimatnya pendek-pendek,
kata-katanya jelas, dan mudah dimengerti orang awam.
Marshall McLuhan sebagai penggagas teori “Medium is the
message” menyatakan bahwa setiap media mempunyai tatabahasanya sendiri yakni
seperangkat peraturan yang erat kaitannya dengan berbagai alat indra dalam
hubungannya dengan penggunaan media. Setiap tata bahasa media memiliki
kecenderungan (bias) pada alat indra tertentu. Oleh karenanya media mempunyai
pengaruh yang berbeda pada perilaku manusia yang menggunakannya (Rakhmat, 1996:
248).
Secara lebih seksama bahasa jurnalistik dapat dibedakan
pula berdasarkan bentuknya menurut media menjadi bahasa jurnalistik media
cetak, bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa
jurnalistik media online internet. Bahasa jurnalistik media cetak, misalnya,
kecuali harus mematuhi kaidah umum bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri
yang sangat khusus yang membedakannya dari bahasa jurnalistik radio, bahasa
jurnalistik TV, dan bahasa jurnalistik media online internet.
Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku
untuk semua bentuk media berkala tersebut. yakni sederhana, singkat, padat,
lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal,
menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata.
(diksi) yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari
pengunaan kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika
(Sumadiria, 2005:53-61). Berikut perincian penjelasannya.
1. Sederhana Sederhana berarti selalu
mengutamakan dan memilih kata atau. kalimat yang paling banyak diketahui
maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat
intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya.
Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir
orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalistik.
2. Singkat Singkat berarti langsung kepada
pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak
memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang
tersedia pada kolom-¬kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat
terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekwensinya apa pun
pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi,
dan karakteristik pers.
3. Padat Menurut. PatmonoSK, redaktur senior
Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), padat dalam bahasa
jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragrap yang
ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini
berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat.
Kalinat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kaliamat
yang padat, kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.
4. Lugas Lugas berarti tegas, tidak ambigu,
sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa
membingunglian khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan
kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta
menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata
tersebut.
5. Jelas Jelas berarti mudah ditangkap
maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagai contoh, hitam adalah wara yang jelas.
Putih adalah warna yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan, maka terdapat
perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada.
Kedua warna itu sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu.
Perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di sini
mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai
dengan kaidah subjek-objek-predikat- keterangan (SPOK), jelas sasaran
atau maksudnya.
6.Jernih Jernih berarti bening, tembus pandang,
transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat
negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan bandingan, kita hanya
dapat menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada akuarium
dengan air yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona
yang luar biasa apabila dimasukkan ke dalam kolam besar di persawahan
yang berair keruh. Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang
jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di
balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan
public. Dalam bahasa kiai, jermh berarti bersikap berprasangka baik (husnudzon)
dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang
komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola piker positif
(positive thinking) dan menolak pola pikir negative (negative thinking). Hanya
dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan
yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih
dan dada lapang. Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak
diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan
sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan
rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan
pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan
pimpinan partai politik.
7. Menarik Bahasa jurnalistik harus menarik.
Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca,
memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika.
Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku. Bahasa
ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan baku saja. Inilah yang menyebabkan
karya-karya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada
memunculkan semangat dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa
jurnalistik hasil karya wartawan, sementara karya ilmiah hasil karya ilmuwan.
Wartawan sering juga disebut seniman. Bahasa jurnalistik menyapa khalayak
pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka
tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa
jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta
permusuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus
provokatif tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan kaidah normatif.
Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu
fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus tampak
pada bahasa jurnalistik pers.
8. Demokratis Salah satu ciri yang paling
menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa
jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak
yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa
Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan
komunal, sehingga samasekali tidak dikenal pendekatan feudal sebagaimana
dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan kraton. Bahasa
jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan
pengemis dan pemulung secara sama.Kalau dalam berita disebutkan presiden
mengatakan, maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda.
Presiden dan pengemis keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa
jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan berita, laporan,
gambar, karikatur, atau teks foto. Secara ideologis, bahasa jurnalistik
melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum
schingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda.
Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news
value) yang membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa
bahasa Indonesia dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa
pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, karena. bahasa Melayu sebagai
cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis. Sebagai contoh, prisiden
makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.
9. Populis Populis berarti setiap kata,
istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus
akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca,
pendengar, atau. pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima
dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang
presiden, para pembantu rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat dharma wanita.
Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa yang elitis adalah bahasa yang
hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja, terutama mereka yang
berpendidikan dan berkedudukan tinggi.
10. Logis Logis berarti apa pun yang
terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraph jurnalistik harus dapat
diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahasa
jurnalistik harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Di sini
berlaku hokum logis. Sebagai contoh, apakah logis kalau dalam berita dikatakan:
jumlah korban tewas dalam musibah longsor dan banjir banding itu 225 orang
namun sampai berita ini diturunkan belum juga melapor.. Jawabannya tentu saja
sangat tidak logis, karena mana mungkin korban yang sudah tewas, bisa melapor?
Menurut salah seorang wartawan senior Kompas dalam bukunya yang mengupas
masalah kalimat jumalistik, dengan berbekal kemampuan menggunakan logika
(silogisme), seorang wartawan akan lebih jeli menangkap suatu keadaan, fakta,
persoalan, ataupun pernyataan seorang sumber berita. Ia akan lebih kritis,
tidak mudah terkecoh oleh sumber berita yang mengemukakan peryataan atau
keterangan dengan motif-mo¬tif tertentu (Dewabrata, 2004:76).
11. Gramatikal Gramatikal berarti kata,
istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik
harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi
sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan
berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah
bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu
bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik
nonbaku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran
pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke
depan. Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden
menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN
dalam lima tahun ke depan.
12. Menghindari kata tutur Kata tutur ialah
kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata
tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal,
bus kota, atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah
apa saja sejauh pihak yang diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata
tutur ialah kata yang hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak
memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang,
dilangin, bikin, diksih tahu, mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.
13. Menghindari kata dan istilah
asing Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar
harus tahu arti dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau
laporan yang banyak diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan
komunikatif juga membingungkan. Menurut teori komunikasi, khalayak media massa
anonym dan heterogen. tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri
atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan,
pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik,
memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan
atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah
jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.
14. Pilihan kata (diksi) yang tepat Bahasa
jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak
hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektifitas.
Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan
pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khlayak. Pilihan kata atau diksi,
dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi
juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk
mencapai efek optimal terhadap khalayak. Pilihan kata atau diksi yang tidak
tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan akibat fatal. Seperti
ditegaskan seorang pakar bahasa terkemuka, pengertian pilihan kata atau diksi
jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata itu. Istilah ini
bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk
mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan
fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata
dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus
berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian
dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki
nilai arstistik yang tinggi (Keraf, 2004:22-23).
15. Mengutamakan kalimat aktif Kalimat akiff
lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat
pasif. Sebagai contoh presiden mengatakan, bukan dikatakan oleh presided.Contoh
lain, pencuri mengambil perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan
diambilnya perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri. Bahasa
jurnalistik harus.jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear and strong).
Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat
pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.
16. Menghindari kata atau istilah
teknis Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus
sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi
sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan
menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun kata atau
istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komunitas tertentu yang relatif
homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa tidak boleh
dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efelitf, juga mengandung
unsur pemerkosaan. Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia
kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak akan
bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat
dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah
dipahami maksudnya, maka istilah-istilah teknis itu harus diganti dengan
istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tak terhindarkan,
maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tanda
kerung. Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau
istilah teknis, mencerminkan media itu : (1) kurang melakukaii pembinaan dan
pelatihan terhadap wartawannya yang malas, (2) tidak memiliki editor bahasa,
(3) tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan,
atau (4) tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola penerbitan pers yang
berkualitas.
17. Tunduk kepada kaidah etika Salah satu
fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to educated), Fungsi ini bukan saja
harus, tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan
artikel-aritikelnya, melainkan juga harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa
tersimpul etika. Bahasa tidak saja mencerminkan pikiran tapi sekaligus juga
menunjukkan etika orang itu. Pers berkualitas senantiasa menjaga reputasi dan
wibawa martabatnya di mata masyarakat, antara lain dengan senantiasa
menghindari penggunaan kata-kata atau istilah yang dapat diasumsikan tidak
sopan, vulgar, atau mengumbar selera rendah. Kata-kata vulgar, kata-kata yang
menjurus pornografi, biasanya lebih banyak ditemukan pada pers popular lapis
bawah dan pers kuning (Sumadiria,2005: 53-61).
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU:
Anwar, Rosihan. 2004. Bahasa Jurnalistik Indonesia
dan Komposisi.Yogyakarta: Media Abadi.
Sumadiria, Haris. 2006. Jurnalistik Indonesia.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
SUMBER LAIN:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar