Cari Blog Ini
Rabu, 03 Oktober 2018
Manajemen Media 2: Organisasi Media dan Pengaruh Eksternal
Ada banyak sekali definisi organisasi. Max Weber mengatakan bahwa organisasi adalah suatu kerangka hubungan yang berstruktur yang di dalamnya berisi wewenang,tanggung jawab, dan pembagian kerja untuk menjalankan fungsi tertentu. Stephen P.Robbins menyatakan bahwa organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi,yang bekerja atas dasar yang terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama.
Sementara itu, kita dapat mendefinisikan organisasi media sebagai sebuah organisasi yang bekerja untuk pengelolaan dan produksi media. Pada umumnya di industri media, organisasi kerjanya dibagi menjadi dua yaitu divisi perusahaan dan divisi redaksi. Divisi perusahaan mengelola perusahaan media secara umumnya, termasuk di dalamnya mengenai sumber daya manusia dan keuangan. Sementara divisi redaksi mengelola kegiatan produksi media, mulai dari perencanaan peliputan, pembuatan/pengemasan, dan penyebarluasan.
Sama seperti organisasi pada umumnya, organisasi media juga menerapkan fungsi manajer. Empat fungsi dasar manajerial yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), memimpin (leading), dan pengendalian (controlling). Proporsi untuk masing-masing fungsi itu tidak sama satu dengan yang lainnya,tergantung pada tingkatan pekerjaan yang dilakukan.
Untuk manajer puncak di industrimedia seperti pemimpin redaksi/wakil pemimpin redaksi tentu memiliki deskripsi kerjadan alokasi waktu kerja yang berbeda dengan manajer tingkat menengah seperti produser eksekutif, koordinator liputan, dan sebagainya. Namun demikian, tanpa memandang hierarkinya, orang yang bertindak sebagai manajer melakukan empat fungsi manajerial itu secara sekaligus.
Dalam organisasi media dikenal sebuah istilah Newsroom yang mengarah pada sebuah struktur yang beroperasi di dalam organisasi media. Struktur ini mempengaruhi cara berita diproduksi sebab struktur mempengaruhi apa yang dilakukan jurnalis, apa yang ditulis editor, dan apa yang akan diterbitkan. Di dalam newsroom ini, nilai-nilai berita dalam suatu media dipertaruhkan. Di dalam newsroom ini pula, kebijakan redaksional suatu media dibuat dan diterapkan.
Newsroom menjadi identitas penting dalam organisasi media, sebab pusat kegiatan produksi jurnalistik bermula dari sini. berkoordinasi dengan editor untuk menyediakan batas ruang untuk pengiklan dan untuk jumlah karakter berita (panjang-pendeknya tulisan).
Politisasi Lembaga Media Komunikasi
Lembaga media komunikasi dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang sekaligus bertalian erat dengan sistem politik. Dari situ kemudian lahir sebuah kajian yang oleh David Ricardo dan Adam Smith disebut sebagai ekonomi politik. Ekonomi politik ini awalnya dipengaruhi oleh pemikiran Marxis tentang ekonomi, yang mempelajari basis ekonomi masyarakat yang menentukan struktur, dan akibatnya mempengaruhi ruang-ruang budaya dan politik dalam masyarakat; tenaga kerja dan pembagian kerja, kepemilikan serta mode produksi.
Pada tahun 1970-an, ekonomi politik media dikembangkan dalam kerangka Marxis yang lebih eksplisit. Ekonomi politik media lebih tertarik mempelajar ikomunikasi dan media sebagai komoditas yang dihasilkan oleh industri kapitalis.
Media dilihat sebagai entitas ekonomi dengan peranan langsung sebagai pencipta nilai surplus dan peranan tidak langsung sebagai pencipta nilai surplus di dalam sektor produksi komoditas lainnya (seperti iklan misalnya).
Lalu pada 1990, beberapa ekonom politik membuat pemikiran ulang mengenai ekonomi politik, terutama karena adanya restrukturisasi politik dan ekonomi global.Ekonomi politik dipikirkan ulang dalam hal komodifikasi (commodification) yakni perubahan orientasi nilai suatu barang/jasa dari nilai guna menjadi niali tukarnya di pasar, spasialisasi (spatialization) yakni peningkatan batas ruang dan waktu (ekspansi), dan strukturasi (structuration) yakni berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses sosial, dan praktik sosial.
Ekonomi politik juga dibahas dalam kaitannya dengan kajian budaya dan kajian kebijakan.Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil kerja lembaga media untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi secara vertikal maupun horizontal.
Seperti dikemukakan Littlejohn (1999), isi media merupakan komoditas untuk dijual di pasar, dan informasi yang disebarkan dikendalikan oleh apayang ada di pasar. Sistem ini mengarah pada tindakan konservatif dan cenderung menghindari kerugian. Pada akhirnya ini membuat media memproduksi informasi tertentu menjadi dominan sementara yang lainnya terbatas.
Konsekuensi keadaan seperti ini tampak dalam wujud berkurangnya jumlah sumber lembaga media yang bebas, terciptanya konsentrasi pada pasar besar,munculnya sikap bodoh terhadap calon khalayak pada sektor kecil (Arianto, Ekonomi Politik Lembaga Media Komunikasi, 2011 h. 5).
Kita pun dapat melihat kini konglomerasi media yang tercipta didasari dengan adanya kepemilikan modal, yakni pemikiran berusaha melakukan ekspansi sebagai penyebaran kekuasaan ekonomi sekaligus menuangkan pengaruh politiknya. Sebut saja tiga dari sekian media besar diIndonesia saat ini: MNC Media Group (Harry Tanoesoedibjo), Jawa Pos Group (Dahlan Iskan), dan Kompas Gramedia (Jakob Oetama). Mereka adalah salah satu bentuk nyatadari kegiatan ekspansi perusahaan dengan menciptakan suatu konvergensi media, yang kemudian mengarah pada terkonsentrasinya kepemilikan media.
Sikap bodoh itu sendiri penulis artikan sebagai dampak dari hegemoni. Konsep hegemoni banyak digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa di sini memiliki arti luas, tidak terbatas pada penguasa negara (pemerintah).
Hegemoni bisa didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense) oleh kelompok yang didominasi.
Konsep hegemoni ini lahir dari paradigma kritis yang menurut Ishadi(2014: 9) memandang media adalah sarana bagi kelompok dominan untuk mengontrol kelompok yang tidak dominan, bahkan meminggirkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media.Menurut Littlejohn (2009: 388), hegemoni bukanlah gerak kekuasaan yang kasar, namun sebuah rencana yang “dikembangkan”.
Dalam pandangan mazhab kritis,terutama dalam studi-studi yang dikembangkan oleh Centre for Contemporary CulturalStudies, Bringmiham University, media massa selalu dirasakan sebagai alat yang “powerfull” dan ada ideology dominan di dalamnya. Ini mengingatkan kita akan salahsatu teori komunikasi massa, yaitu teori peluru atau jarum hipodermik.
Teori yang dikemukakan oleh Wilbur Schramm ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa, dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Asumsi teori hegemoni media selalu diarahkan pada aspek-aspek yang menyangkut ideologi organisasi media itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan,serta mekanismenya dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan kepatuhan kaum pekerja (wartawan dan karyawan) sebagai sasaran dari pemilik industri media.
Untuk menghindari kebodohan atau hegemoni itu, publik sebagai konsumen media harus memahami struktur organisasi yang ada di balik media tersebut.Kemampuan menggunakan media (literasi media) diperlukan agar khalayak tidak menerima begitu saja segala informasi yang tersedia, akan tetapi harus mampu memilah dan menelaah pesan-pesan yang ditampilkan oleh media. Tidak hanya untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas, tetapi juga untuk memahami hakikat dan fungsi media massa itu sendiri dalam konteks kehidupan sosial dan bermasyarakat.
Pendekatan jurnalisme dan organisasi media dalam Global Journalism Research
mempunyai empat kajian organisasi media, yang meliputi perbandingan kerja diorganisasi media, identifikasi dan analisis kerja jurnalis di newsroom, identifikasi dan analisis alur komunikasi, dan analisis interaksi antar departemen dalam organisasi media.
Meskipun pada dasarnya setiap organisasi memiliki fungsi yang sama, tetapi cara kerja di dalamnya akan berbeda, tergantung pada bidang apa mereka bekerja. Seperti yang sempat disinggung di atas, organisasi media mempunyai divisi redaksi yang umumnya terdiri atas pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, koordinator liputan, redaktur, wartawan, editor, dan seterusnya. Pimpinan redaksi bertanggung jawab terhadap kebijakan redaksional sehari-hari, yang mewujudkan secara riil kebijakan dasar perusahaan pers yang bersangkutan dalam produk redaksional mereka.
Redaktur pelaksana bertugas mengoordinasikan, mengawasi,menilai, mengkoreksi, serta menyempurnakan pekerjaan redaksional para redaktur. Selanjutnya redaktur memberikan tugas-tugas peliputan atau kerja jurnalistik lainnya kepada wartawan berdasarkan rubrik masing-masing.Tidak seperti organisasi pada umumnya. Organisasi media massa (pers) bekerja sepanjang waktu, termasuk juga pada hari libur. Ini dikarenakan media massa harus terus menjalankan fungsinya sebagai pemberi informasi (to inform). Informasi merupakan kebutuhan manusia sehari-hari yang dikonsumsi kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Selain itu media pers juga mempunyai peran yang penting dalam keberpihakannya pada masyarakat. Komitmen kepada warga (citizen) lebih besar ketimbang egoism profesional (Kovach, 2003:59)
Masyarakat tentu menginginkan informasi yang aktual setiap hari. Untuk itu jugalah pers hadir setiap saat.Selanjutnya, newsroom menyusun informasi. Yang bertugas menyusun informasi(berita) adalah bagian redaksi (editorial department), yakni para wartawan, mulai dari pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur desk, reporter, fotografer, koresponden,hingga kontributor.
Di dalam newsroom, hasil peliputan (news gathering) yang dilakukan oleh wartawan dipertimbangkan menurut kebijakan redaksional media. Disinilah ideologi yang dianut oleh media menjadi landasan untuk menentukan berita yang akan diterbitkan; aspek apa yang ditonjolkan, bagian mana yang ditinggalkan, dan seperti apa berita tersebut dikemas dan dikomunikasikan. Proses awal penyusunan agenda media (agenda setting) dimulai di sini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar