Cari Blog Ini

Kamis, 28 November 2019

Hukum Komunikasi 4: Delik Pers dan KUHP


A. Pengertian Delik Pers
Delik pers berasal dari dua kata: Delik dan Pers.
Delik berasal dari perkataan belanda delict yang artinya tindak pidana atau pelanggaran. Istilah Pers berasal dari bahasa belanda. Dalam bahasa Inggris, pers disebut dengan press. Secara harfiah, pers berarti cetak, dan secara maknawiah, pers berarti penyiaran yang tercetak atau publikasi yang dicetak (printed publication). Tetapi sekarang,pengertian pers itu termasuk juga kegiatan komunikasi yang dilakukan melalui media elektronik seperti televisi dan radio. 

Jadi Delik Pers merupakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pers.
Beberapa ahli hukum, istilah delik pers sering dianggap bukan suatu terminologi hukum, karena ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa yang disebut delik pers bukanlah delik yang semata-mata dapat ditunjukkan kepada pers, melainkan ketentuan yang berlaku secara umum untuk semua warga Negara Indonesia. 

Akan tetapi, jurnalis dan pers merupakan kelompok pekerjaan yang definisinya berdekatan dengan usaha menyiarkan,mempertunjukan, memberitakan, dan sebagainya, sehingga unsur-unsur delik pers dalam KUHP itu akan lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers. Hal ini disebabkan oleh hasil pekerjaanya yang lebih mudah tersiar, terlihat, atau terdengar di kalangan khalayak ramai dan bersifat umum (Prof Komariah E. Sapardjaja, 2003:45).

Delik pers bukan merupakan lex specialis, atau delik yang berlaku bukan untuk hanya pers, melaikan juga untuk masyarakat umum. Akibatnya, kasus-kasus delik aduan ataupun delik biasa yang sering ditangani pengadilan kerap menyangkut pers. Dalam pasal KUHP yang mengatur hal tersebut, tidak ada kata satu pun yang menyebutkan pers. 

Hal yang disebutkan hanya “bentuk lisan”, “barang cetakan”, “menyiarkan”, “mempertunjukkan”, “membuat isinya diketahui umum”, “di muka umum”, “membuat isinya diketahui umum”, “di muka umum” (Sedia Willing Barus,2011:227).

B. Sifat Delik Pers
Ada 2 jenis delik pers, yaitu:
1. Delik aduan, delik yang proses hukumnya hanya akan terjadi jika ada yang merasa terganggu atau mengadukannya ke pihak yang berwajib.


Pasal-pasal dalam KUHP yang terkait dengan delik aduan adalah:a. Pasal 310 (penyerangan/ pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang).
Pasal 311 (fitnah).
Pasal 315 (penghinaan ringan terhadap seseorang).
Pasal 316 (penghinaan terhadap pejabat pada waktu atau atau menjalankan tugasnya yang sah).
Pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa).
Pasal 320 (pencemaran terhadap seseorang yang sudah mati).
Pasal 321 (penghinaan atau pencemaran nama seseorang yang sudah mati).

2. Delik biasa, delik yang tanpa pengaduan pun harus diproses menurut jalur hukum yang berlaku, seperti delik penghinaan terhadap agama.
Pasal 112 dan 113 (pembocoran rahasia negara).
Pasal 134 dan 137 (penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden).
Pasal 142, 143, dan 144 (penghinaan terhadap raja atau kepala negara sahabat, atau orang yang mewakili negara asing di Indonesia).
Pasal 154 dan 155 (pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia).
Pasal 156 dan 157 (pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia).
Pasal 156a (pernyataan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia).
Pasal 160 dan 161 (penghasutan untuk melakukan perbuatan pidana atau menentang penguasa umum dengan kekerasan).
Pasal 162 dan 163 (penawaran untuk memberi keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana).
Pasal 207 dan 208 (penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia).
Pasal 282, 532, 533, dan 534 (kesusilaan).

C.Penggolongan Delik Pers
Delik pers dapat digolongkan ke dalam 5 kelompok besar, yaitu:
1. Kejahatan terhadap ketertiban umum.

Diatur dalam pasal-pasal 154, 155, 156, dan 157 KUHP. Pasal-pasal ini dikenal dengan nama haatzaai artikelen, yaitu pasal-pasal tentang penyebarluasan kebencian dan permusuhan di dalam masyarakat terhadap pemerintah.

2. Kejahatan penghinaan.

Dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok:
a. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, diatur dalam pasal 134 dan 137 KUHP.
Termasuk dalam kelompok ini penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum, yang diatur dalam pasal-pasal 207, 208, dan 209 KUHP.
b. Penghinaan umum, diatur dalam pasal-pasal 310 dan 315 KUHP.

3. Kejahatan melakukan penghasutan.

Diatur dalam pasal-pasal 160 dan 161 KUHP.

4. Kejahatan menyiarkan kabar bohong.
Diatur dalam pasal XIV dan XV Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, yang menggantikan pasal 171 KUHP yang telah dicabut.

5. Delik kesusilaan.
Diatur dalam pasal-pasal 282 dan 533 KUHP.

D.Tinjauan terhadap Delik Pers

1. Delik Kebencian (Haatzaai Artikelen)Haatzaai-artikelen berasal dari dua kata bahasa Belanda yang artinya masing-masing: Haat = (benih) kebencian; zaaien = menabur, menanam benih (perselisihan, kebencian); artikel = tulisan atau karangan, bentuk jamaknya adalah artikelen. Jika diterjemahkan secara bebas, haatzaai-artikelen ini bisa disalin dengan “karangan-karangan yang menabur benih kebencian.”

Apa yang termasuk dalam haatzaai-artikelen ini dinyatakan secara jelas dalam pasal 154 KUHP, yang berbunyi: “Barangsiapa menyatakan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia di muka umum, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Atau pasal 155 KUHP, ayat 1, yang menyatakan: ”Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam…”

2. Delik Penghinaan (Pencemaran Nama Baik)

Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan. Akibatnya perkara hukum yang terjadi sering kali merupakan penafsiran yang subjektif. Seseorang dengan mudah dapat menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. 

Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers. Selain itu, ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet” karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan.

Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam 5 kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan, dan fitnah tuduhan. Penafsiran adanya penghinaan (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
Dilakukan dengan sengaja dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar).
Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung tuduhan tersebut.
Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.

3. Delik kabar bohong
Wartawan atau pers yang menyebarkan berita berdassarkan desas-desus, rumor, atau informasi sepihak bisa terjebak dalam delik kabar bohong, khususnya jika berita itu berakibat merugikan pihak lain. Ketentuan pidana penyebaran kabar bohong diatur dalam pasal XIV dan XV UU No. 1 tahun 1946, yang menggantikan pasal 171 KUHP yang telah dicabut.

Pasal XIV UU No. 1 tahun1946:
Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.
Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu bohong, dihukum dengan penjara selama-lamanya tiga tahun.

Pasal XV UU No.1 tahun1946:
Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti, setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga tahun.

Dalam prinsip jurnalistik dikenal istilah absence of malice (tanpa niat jahat) ketika media pers menyebarkan informasi yang keliru; hal itu semata-mata karena kesalahan yang dilakukan tanpa kesengajaan. Jika pers menyebarkan kebohongan secara sadar atau sengaja, itu berarti media pers tersebut telah mengkhianati profesinya.

4. Delik Kesusilaan (Pornografi)

Rumitnya masalah pornografi ini, agaknya, tercermin pula dalam aturan hukum. Dalam KUHP tidak ditemukan perumusan yuridis dari istilah pornografi. Menurut teks KUHP Belanda (tahun 1886) yang menjadi cikal bakal KUHP kita, pada pasal 281 yang dilarang adalah openbare schennis de eerbaarheid (melanggar susila secara terbuka), sedangkan dalam pasal 282 digunakan kata-kata anstotelijk voor de eerbaarheid (melanggar perasaan susila).

Pasal-pasal KUHP yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan adalah pasal-pasal 281, 282, 532, dan 533. Jika kita mempersoalkan pornografi sebagai delik pers, maka yang dimaksud adalah larangan yang diancam dengan ketentuan hukum pidana dalam pasal-pasal 282 dan 533 KUHP.

Pasal 282 KUHP:Barang siapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan berterang-terangan suatu yang diketahui isinya, atau suatu gambar atau barang yang dikenalnya yang melanggar perasaan kesopanan, maupun membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan, gambar atau barang itu untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan sehingga kelihatan oleh orang banyak, ataupun dengan berterang-terangan atau dengan menyiarkan sesuatu surat, ataupun dengan berterang-terangan atau dengan menyiarkan sesuatu surat, ataupun dengan berterang-terangan diminta atau menunjukkan bahwa tulisan, gambar atau barang itu boleh didapat, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 45.000.

5.Pertangung jawaban Pers

• Hak Jawab dan Hak Koreksi dalam UU Pers yang kurang jelas diatur baik dalam substansi pasal-pasalnya maupun penjelasan mengakibatkan adanya pendapat yang pro dan kontra sebagai tindak lanjut penyelesaiannya secara hukum di pengadilan negeri. Hak Jawab dan Hak Koreksi tersebut sebenarnya merupakan pokok materi yang sangat terkait dengan pengertian delik pers yang mengarah pada Trial by Press maupun pertanggungjawaban pidana Perusahaan Pers.

• Delik pers yang harus memperhatikan faktor intern seperti investigasi, verifikasi,check and balances, dan cover both side beserta sanksinya secara jelas diatur dalam pasal 18 UU Pers yang memiliki unsur-unsur melanggar ketentuan pasal 5 ayat (1), pasal 5 ayat (2), pasal 13, di mana pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur perihal pelanggaran Asas Praduga Tak Bersalah serta pers wajib melayani Hak Jawab. 

Berbicara perihal pengertian delik pers, maka harus dikaitkan dengan ketentuan pasal 18 tersebut diatas dan tidak mengacu pada KUHP seperti pasal 154, pasal 155, pasal 310 yang menyangkut pencemaran nama baik, dengan pengertian pasal-pasal KUHP tersebut hanyalah merupakan sarana atau alat dalam membuktikan terjadinya pelanggaran atas unsur Asas Praduga Tak Bersalah dan atau unsur pers tidak melayani hak jawab.

E. Contoh kasus
Berikut dibawah ini sebagai contoh kasus mengenai kasus delik pers yaitu :


Kasus Bambang Harymurti
Dalam kasus ini Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, oleh Jaksa Penuntut Umum dikenakan dakwaan Pertama Primair melanggar Pasal XIV ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP Subsidair melanggar Pasal XIV ayat (2) UU No 1 Tahun 1946 jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP dan Kedua Primair melanggar Pasal 311 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP subsidair melanggar Pasal 310 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP

Posisi Kasus
Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo menerbitkan berita di Majalah Tempo edisi 3/9 Maret 2003 telah menampilkan berita dengan judul “Ada Tomy di Tanah abang” yang isinya bahwa pengusaha Tomy Winata telah mendapat proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp. 53 milyar, yang proposalnya sudah diajukan ke Pemda DKI Jakarta sebelum kebakaran di Pasar Tanah Abang terjadi. Tomy Winata dalam pemberitaan tersebut juga telah membantah keterkaitannya dengan rencana renovasi Pasar Tanah Abang. Dugaan bahwa pasar grosir itu dibakar juga dibantah oleh Kepala Pasar Tanah Abang.

G.Referensi
Seno Adji, Oemar. 1990. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Indah Suryawati. 2014. Jurnalistik Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.
https://mindsmine.wordpress.com/2008/07/13/delik-pers/
http://anggara.org/2006/11/07/kejahatan-pers-dalam-perspektif-hukum/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar